Filosofi Istimewa Kota Yogyakarta
Sesuai dengan namanya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki banyak keistimewaan. Keistimewaan Yogyakarta terletak pada otonomi daerahnya, kebudayaannya, filosofi yang mendasari cara hidup masyarakatnya, hingga tata ruang kotanya.
Dari segi otonomi daerah, sama seperti provinsi lain di Indonesia, Yogyakarta dipimpin oleh seorang Gubernur dan seorang Wakil Gubernur. Namun, yang istimewa adalah Gubernur dan Wakil Gubernur tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan berdasarkan garis keturunan seperti yang berlaku pada sistem monarki. Gubernur dijabat oleh Sultan Hamengku Bowono, sedangkan Wakil Gubernur dijabat oleh Adipati Paku Alam yang merupakan adik dari Sultan.
Meski demikian, otonomi istimewa ini juga didasari oleh undang-undang yang mengatur pemerintahan di Yogyakarta. Salah satunya adalah syarat bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY bukan menupakan anggota partai politik apapun. Syarat itu diatur sebagai penegasan bahwa keberadaan Gubernur Sultan Hamengku Buwono dan Wakil Gubernur Adipati Paku Alam adalah milik masyarakat Yogyakarta seutuhnya tanpa tersekat suatu kelompok politik tertentu.
Dari segi kebudayaan, Yogyakarta merupakan lokasi di mana terdapat banyak sekali ragam budaya yang masuk, dan dalam kurun waktu yang panjang tercipta sebuah akulturasi yang harmonis. Meski kaya akan aneka ragam budaya, Yogyakarta masih dapat mempertahankan identitas aslinya hingga saat ini dengan berpegang teguh pada adat dan tradisi Jawa. Identitas asli Yogyakarta yang terus bertahan ini kemudian melahirkan filosofi unik yang memengaruhi cara hidup, bertindak, dan berpikir masyarakatnya sehingga menghasilkan kebudayaan yang multi-lapis (multi-layered culture).
Lalu dari segi filosofi, Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756 sebagai pusat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pertimbangan lokasi yang terletak di antara gunung dan laut, serta diapit oleh tiga sungai. Secara kosmologi dan filsafat Jawa, bentang alam seperti itu dianggap sebagai cerminan dari alam semesta. Dengan demikian, setiap komponen Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki makna filosofisnya masing-masing.
Pusat kota Yogyakarta, misalnya, ditata dengan dasar filosofis yang dikenal dengan istilah Sumbu Imajiner. Dirancang dengan konsep siklus kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi), sumbu kasat mata ini terbentang membentuk garis lurus yang mengubungkan Laut Selatan (Samudera Hindia) di selatan Yogyakarta dengan Gunung Merapi di utara. Laut Selatan sebagai simbol air dan Gunung Merapi sebagai simbol api, keduanya melambangkan keseimbangan. Sumbu tersebut juga melewati komponen-komponen penting bagi kesultanan dan masyarakat Yogyakarta, seperti Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih yang memiliki filosofinya masing-masing.
Sumbu Imajiner yang mengatur tata letak kota Yogyakarta ini berpusat di Keraton. Hal ini dikarenakan kompleks istana (keraton) terdiri dari beberapa bangunan yang memiliki makna mendalam dalam konteks filsafat Jawa yang merepresentasikan siklus hidup manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.
Jalur dari Panggung Krapyak menuju Keraton difilosofikan sebagai perjalanan hidup manusia dari mulai di dalam kandungan hingga menuju kedewasaan. Struktur piramida terpotong dari Panggung Krapyak mewujudkan unsur perempuan (yoni atau rahim) yang merepresentasikan awal kehidupan manusia. Sementara jalur dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta mengandung filosofi urutan kehidupan dari masa dewasa sampai mati dan kembali kepada Tuhan.
Tugu Pal Putih pada awalnya bernama Tugu Golong-gilig yang berbentuk silindris (gilig) dengan puncaknya berbentuk bulatan (golong) yang melambangkan unsur laki-laki (lingga) serta kesatuan Tuhan dengan Raja dan Raja dengan rakyatnya sebagai perwujudan hubungan harmonis antara Tuhan dan manusia (manunggaling kawulo gusti). Tugu dalam bentuk tersebut runtuh akibat gempa bumi besar yang melanda Yogyakarta. Bentuk tugu seperti sekarang ini adalah hasil renovasi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII pada 3 Oktober 1889.
Jalur dari Tugu Pal Putih ke Keraton Yogyakarta dibagi menjadi tiga bagian yang melambangkan cara untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Dari utara ke selatan, bagian-bagian ini merepresentasikan jalur untuk mencapai keutamaan (margotomo), kehidupan yang tercerahkan (malioboro), dan martabat (margamulyo). Sepanjang jalannya terdapat pula dua komponen kota yang tak kalah penting, yaitu Kepatihan (kantor administratif) dan Pasar Beringharjo (pasar kesultanan). Dua komponen ini melambangkan rintangan atau godaan untuk mencapai kehidupan yang ideal, yaitu berlebihan dalam mengejar kekuasaan atau status sosial dan berlebihan dalam mengejar materi duniawi.
Sumbu Imajiner yang menjadi dasar filosofis tata ruang kota Yogyakarta ini dirumuskan dalam dokumen bertajuk “The Historical City Centre of Yoyakartaâ€. Saat ini, dokumen tersebut telah masuk ke dalam Daftar Sementara Warisan Dunia (World Heritage Tentative List) UNESCO untuk kategori kebudayaan per tanggal 14 Maret 2017. Daftar Sementara (Tentative List) adalah inventaris properti-properti yang akan dipertimbangkan oleh suatu negara untuk diajukan sebagai salah satu daftar World Heritage. Program World Heritage merupakan program UNESCO yang bertujuan untuk mendorong proses identifikasi, proteksi, dan preservasi atas warisan alam maupun budaya di seluruh dunia, dengan mempertimbangkan nilai-nilai luar biasa dan perannya terhadap kemanusiaan.
Saat ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tengah bersiap dan terus mengupayakan Yogyakarta untuk resmi menjadi Warisan Dunia (World Heritage). Sementara itu, Yogyakarta juga telah menyandang predikat sebagai Kota Kebudayaan ASEAN (ASEAN City of Culture) ke-5 untuk periode 2018 hingga 2020. Penetapan ini dilakukan oleh Menteri ASEAN bidang kebudayaan dan kesenian (ASEAN Ministers Responsible for Culture and Arts/AMCA) pada Rabu (24/10/2018) bertepatan dengan terlaksananya pertemuan AMCA yang ke-8 di Yogyakarta. (DAS)