Hoaks sebagai Fenomena Global: Penyebab, Dampak, dan Upaya Penanggulangan
Kuatnya arus informasi dan komunikasi di era globalisasi semakin memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi melalui berbagai sarana, terutama internet. Tidak hanya sekadar menerima informasi, masyarakat juga memiliki kesempatan untuk menciptakan, mengolah, dan menyalurkan narasi melalui berbagai media digital, tidak terkecuali media sosial. Dengan kemudahan akses dan penggunaannya, media sosial menjadi rentan atas penyebaran hoaks.
Fenomena penyebaran hoaks bukan lagi menjadi fenomena baru di lingkup global, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak manusia mulai memahami bahwa media memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik, pembuatan hoaks telah menjadi salah satu alat yang efektif untuk meraih perhatian publik.
Hoaks (Inggris: hoax), atau berita palsu, merupakan konten yang memuat informasi palsu dan disajikan sebagai berita nyata. Pada umumnya, berita palsu disebarkan secara masif dengan menggunakan bot, yaitu sebuah perangkat lunak yang berfungsi untuk menduplikasi berita (ataupun tulisan lainnya) secara otomatis dan berulang-ulang. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun 2017, saluran penyebaran hoaks terbesar di Indonesia adalah melalui media sosial dan aplikasi chatting. Sedangkan topik utama yang paling sering diangkat dalam berita-berita palsu adalah hal-hal yang berkenaan dengan isu politik, SARA, dan kesehatan. Hoaks mudah meluas di masyarakat dikarenakan informasi yang disebarkan umumnya bersifat mengagumkan, sensasional, dan membuat penerimanya merasa perlu untuk menyebarkan kembali informasi tersebut tanpa terlebih dulu melakukan konfirmasi atas kebenarannya. Salah satu faktor yang paling sering terjadi adalah karena informasi tersebut merupakan terusan dari orang terdekat atau orang yang dapat dipercaya, sehingga dengan demikian para penerima berasumsi bahwa kabar tersebut adalah benar adanya.
Penyebaran hoaks di masyarakat berdampak signifikan di berbagai bidang. Di bidang politik, misalnya, masyarakat bisa terpolarisasi ke dalam pandangan-pandangan politis yang saling berlawanan, terutama ketika peristiwa politis sedang berlangsung. Hoaks dengan isu politik dapat menciptakan fanatisme di benak seseorang terhadap tokoh atau pihak yang didukung, akibat tersedianya informasi yang seakan satu pihak tidak memiliki cela, sementara pihak lain (oposisi) pantas untuk dicaci. Hoaks berupa disinformasi, misinformasi, dan malinformasi dengan topik politik digunakan sebagai sarana untuk memengaruhi pandangan politis masyarakat. Selain itu, penyebaran hoaks pun dapat berdampak pada pembuatan kebijakan publik, apabila para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan justru terpengaruh oleh berita palsu yang beredar.
Dikutip dari artikel di situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), maraknya penyebaran berita palsu juga memiliki dampak bagi perekonomian nasional, karena bisa memengaruhi ekspektasi dan perilaku investasi yang bisa mengganggu kondusivitas ekonomi nasional, serta minat untuk berinvestasi di Indonesia. Media sosial memiliki peran kuat sebagai elemen dalam naik-turunnya nilai pasar. Sejalan dengan hal tersebut, beredarnya hoaks di masyarakat dapat menyebabkan anjloknya harga saham, serta menghancurkan reputasi bisnis tertentu. Bisnis yang dilakukan secara tidak etis akan menciptakan informasi atau ulasan palsu mengenai bisnis lawan, semata untuk keuntungan pribadi.
Di bidang sosial, maraknya hoaks bisa memunculkan rasa bimbang publik terhadap fakta-fakta dasar dari suatu peristiwa yang sedang marak terjadi, yang kemudian mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap media, terutama ketika pandangan yang disajikan di dalam berita tersebut tidak sesuai dengan pandangan pribadinya. Hoaks yang mengandung unsur SARA juga bisa menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Hingga saat ini, beragam upaya telah dilakukan oleh para pemerintah di berbagai negara dalam rangka mencegah dan menanggulangi penyebaran hoaks. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Italia, masing-masing berupaya untuk membentuk Dewan Penyelidikan, melakukan pengesahan undang-undang, serta menciptakan platform bagi masyarakat untuk melaporkan berita palsu yang sedang beredar. Langkah-langkah non-legislatif juga diupayakan untuk menanamkan budaya literasi media dan pemikiran kritis. Kanada, Italia, serta Taiwan, misalnya, memperkenalkan kurikulum sekolah yang mengajarkan murid untuk membedakan antara informasi palsu dan kredibel. Di Indonesia, pemerintah bekerja sama dengan raksasa teknologi seperti Facebook untuk melakukan pemblokiran serta pencabutan konten ilegal. Pemerintah Indonesia pun terus mendorong masyarakat, terutama para figur di media sosial, untuk terus menyebarluaskan semangat perlawanan terhadap hoaks yang dapat memecah persatuan bangsa.
Karena keberadaannya berpotensi untuk mengusik perdamaian, fenomena hoaks mendapat perhatian khusus dari UNESCO, sebagai Badan Khusus PBB yang juga memiliki perhatian pada sektor Komunikasi dan Informasi. Berita palsu atau hoaks merupakan informasi yang dibuat dengan tidak berpegangan pada kaedah-kaedah jurnalistik. Terkait hal ini, UNESCO menerbitkan buku panduan (handbook) berjudul Journalism, Fake News & Disinformation yang ditulis oleh para ahli dalam rangka pencegahan dan penanggulangan hoaks melalui eksplorasi sifat dasar jurnalisme. Buku ini juga menunjukkan cara untuk berpikir kritis tentang bagaimana teknologi digital dan platform sosial adalah saluran dari gangguan informasi; melawan balik informasi yang salah melalui media dan literasi informasi; langkah-langkah pengecekan fakta; serta verifikasi media sosial dan memerangi penyalahgunaan media daring. (GDA)