Menjaga Warisan Geopark melalui Penguatan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan
Jakarta, KNIU — Pendidikan adalah nyawa bagi pembangunan berkelanjutan, papar Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Inovasi dan Daya Saing, Ananto Kusuma Seta, mengenai Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development/ESD) dan kaitannya dalam pelestarian warisan geopark. Menurut Ananto, Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan dapat menjadi basis keberlanjutan geopark karena hubungan yang kuat antara empat dimensi pembangunan berkelanjutan dengan konsep geopark.
Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan memberdayakan manusia untuk mengubah cara berpikir dan bekerja menuju masa depan yang berkelanjutan. Ada empat dimensi untuk pembangunan berkelanjutan, yaitu masyarakat, lingkungan, budaya, dan ekonomi. Keempat dimensi ini memiliki kedekatan dengan konsep geopark, karena geopark merupakan area geografis tunggal dan terpadu, di mana situs dan bentang alam geologi dikelola dengan konsep holistik antara perlindungan (preservasi/konservasi), pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan, serta dijalankan secara aktif dan partisipatif oleh masyarakat (bottom-up).
Geopark adalah sebuah lanskap yang di dalamnya tumbuh budaya, tradisi, adat istiadat, bahasa, sains, dan segala warisan khas di daerah tersebut. Hal inilah yang ingin disorot untuk menunjukkan bahwa geopark tidak sekedar monumentasi sebuah situs, melainkan bagaimana mendayagunakan geopark untuk kehidupan dan kemanusiaan (geopark for life, geopark for humanity), ujar Ananto yang ditemui usai rapat persiapan Rembuk Peran Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan dalam Menjaga Warisan Geopark, pada Senin (27/05/2019) di Kantor Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Untuk mencapai daya guna geopark yang maksimal dan perlindungannya yang berkelanjutan, Ananto menyatakan pentingnya untuk menggerakkan masyarakat dari pola pikir kebendaan (things) ke nilai (values).
Dalam era Revolusi Industri 4.0 ini, perkembangan digital begitu pesat menyebabkan orang zaman sekarang berada dalam kondisi pola pikir aku (personal). Hal ini yang dapat dimanfaatkan untuk mengemas geopark, yaitu menjual nilai dari potensi-potensi yang ada di sebuah geopark yang memiliki manfaat bagi seseorang, ujar Ananto.
Dalam hal ini, Ananto memberi contoh di sebuah geopark terdapat potensi air dengan kandungan kalsium yang tinggi dan dapat bermanfaat sebagai obat osteoporosis. Air ini dapat menjadi nilai dan keunikan geopark tersebut, yang dapat âdijual dengan memanfaatkan kebutuhan personal orang-orang dengan osteoporosis, atau siapapun yang membutuhkan. Jadi akan terbentuk mindset kalau membutuhkan air dengan kalsium tinggi, maka tempat yang perlu dikunjungi adalah geopark tersebut, terang Ananto.
Terlepas dari nilai materiel serta aspek ekonomi dan pariwisata, Ananto menambahkan potensi berupa tradisi dan kebudayaan setempat dapat menjadi nilai yang dapat digali dengan sudut pandang sains. Keunikan fenomena di kehidupan masyarakat dalam area sebuah geopark dapat menjadi objek penelitian yang menarik dan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Pengelolaan sebuah geopark agar berkelanjutan, menurut Ananto, sangat harus melibatkan peran aktif seluruh pihak, bahkan hingga di level akar rumput (grass root). Sesuai dengan konsep bottom-up yang diusung, keterlibatan masyarakat merupakan motor utama yang menggerakkan berlangsungnya kehidupan geopark, baik dalam aspek konservasi lingkungan, budaya, pemajuan pariwisata, hingga pembangunan ekonomi.
Untuk ke depannya, kita ingin membangun sebuah keberlanjutan kawasan geopark tidak dengan metode top-down, melainkan bottom-up. Metode bottom-up akan menjaga keberlanjutan (sustainability) dengan lebih baik karena memosisikan sebuah geopark sebagai sesuatu yang dimiliki bersama oleh masyarakat, bukan hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu. jelasnya.
Untuk mencapai geopark yang lestari, berkelanjutan, dan memiliki manfaat yang maksimal bagi kehidupan, tentu tidak terlepas dari tantangan. Dalam paparannya, Ananto menyatakan bahwa tantangan tersebut adalah diperlukannya rencana utama (master plan), keterlibatan (engagement), dan aksi (active action) dari semua pihak untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan geopark melalui penguatan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Migrasi pola pikir dari thingske values dan penghimpunan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan membutuhkan sebuah pemahaman yang lebih dulu harus dimiliki oleh semua pihak terlibat. Demi mencapai satu paham yang seragam terkait pengelolaan geopark yang berkelanjutan inilah dibutuhkan peran pendidikan.
Jika masyarakat telah mampu memahami akan segala sesuatu tentang geopark dan hal-hal yang berkenaan dengannya, misalnya isu pencemaran lingkungan dan pelestarian alam, maka akan lebih mudah bagi masyarakat dalam mengelola geopark dan menghasilkan inovasi-inovasi kegiatan dan produk untuk memajukan kawasannya tersebut. pungkas Ananto. (DAS)