Strategi Pemberantasan Buta Aksara Indonesia Diapresiasi pada Forum Literasi Internasional
exico, KNIU — Strategi pemberantasan buta aksara yang Indonesia jalankan menuai pujian pada acara Global Alliance for Literacy Meeting dan International Forum on Literacy Policies and Sustainable Development Goal (SDG) 4 yang berlangsung di Mexico, Senin (12/11/18) hingga Rabu (14/11/18). Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara anggota Global Alliance for Literacy (GAL) yang merupakan kombinasi negara berliterasi rendah dan negara berpenduduk besar (E-9) yang telah berhasil memberantas buta aksara. Perwakilan Indonesia yang hadir dalam acara tersebut antara lain Harris Iskandar selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat (Dikmas), dan Ananto Kusuma Seta selaku Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Keberhasilan pemerintah dalam menekan angka buta aksara di Indonesia menarik perhatian Institute of Lifelong Learning (UIL) United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Direktur UIL, David Atchoarena, amat mengapresiasi upaya serius yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memberantas buta aksara. Ia menuturkan, negara-negara di Afrika kerap mengeluhkan keterbatasan dana dalam pemberantasan buta aksara. Padahal anggaran bukanlah faktor utama. Strategi pemerintah Indonesia dalam menggerakkan masyarakat dapat menjadi praktik baik yang dapat dicontoh negara lain, yang memiliki persoalan sama, ucapnya.
Atas upaya pemberantasan buta aksara yang dinilai berhasil, Indonesia diberi kesempatan untuk berbagi strategi dan pengalaman di forum tersebut. Mewakili Indonesia untuk berbicara pada forum, Harris Iskandar menuturkan tentang keberhasilan Indonesia dalam menekan jumlah penduduk buta aksara dari tahun ke tahun. Pada tahun 1945, 97 persen dari penduduk Indonesia masih buta aksara. Di tahun 1953 penduduk Indonesia yang buta aksara berkurang menjadi 65,9 persen. Kemudian di tahun 2004, penduduk buta aksara di Indonesia tersisa 10,2 persen. Di tahun 2018 ini kita mampu menekan jumlahnya hingga menjadi 2,07 persen, ujar Harris.
Menurut Harris ada tiga kunci keberhasilan Indonesia dalam memberantas buta aksara, yaitu pemberantasan buta aksara tidak dianggap sebagai sebuah program yang diinisiasi pemerintah tetapi dikelola sebagai sebuah gerakan nasional; komitmen yang tinggi dari pemimpin pemerintahan mulai dari Presiden sampai Kepala Desa; Landasan hukum yang kuat.
Harris menuturkan, pemberantasan buta aksara telah menjadi komitmen nasional, yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Instruksi Presiden ini memperkuat gerakan pemberantasan buta aksara yang dilakukan Kemendikbud, bersama pemerintah daerah dan masyarakat, ujarnya.
Tingginya peran serta masyarakat tercermin dari berkembangnya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), yang salah satu programnya adalah melakukan gerakan literasi. Indonesia memiliki 11.037 PKBM yang didirikan masyarakat, dan 400 PKBM yang dimiliki pemerintah. Jumlah PKBM yang didirikan masyarakat mencapai 96,5 persen. Ini bukti bahwa peran serta masyarakat amat besar, ucapnya.
Keberhasilan dalam menekan angka buta aksara di tingkat nasional bahkan mendorong Indonesia masuk menjadi Dewan Pengarah (Steering Committee) program penguatan literasi di 20 negara tertinggal, bersama dengan Bangladesh. Menurut David Atchoarena, tidak menutup kemungkinan Indonesia dapat didaulat menjadi ketua Dewan Pengarah program penguatan literasi tersebut.
UNESCO/UIL
Meski dianggap berhasil, Harris menuturkan, Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan, yakni sebagian besar dari total jumlah penduduk yang buta aksara merupakan perempuan. Berdasarkan data Pusat Data dan Statistik Pendidikan Kemendikbud, pada tahun 2017 jumlah wanita yang buta aksara mencapai 2,2 juta orang atau 66,12 persen dari total penduduk buta aksara. Sedangkan jumlah pria buta aksara sebanyak 1,1 juta atau 33,8 persen. Tantangan kita bersama untuk menuntaskan buta aksara kaum perempuan, di daerah miskin, dan terpencil, terutama di wilayah timur Indonesia, urainya. (DAS)