Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana dalam Sistem Subak Bali sebagai Warisan Dunia

Blog Single

Bali merupakan lokasi di Indonesia dengan popularitas yang sangat tinggi, baik skala nasional maupun internasional. Selain karena keindahan lanskap naturalnya, Bali juga memiliki masyarakat yang masih secara kuat memertahankan tradisi leluhur. Dengan kepercayaan Hindu sebagai pengaruh utamanya, tradisi diturunkan dan terus dipraktikkan selama berabad lamanya. Salah satu hal yang hingga kini masih dengan teguh dipertahankan oleh masyarakat setempat yaitu sistem penataan lanskap area pertanian yang dikenal dengan nama Subak.

Istilah berasal dari Bahasa Bali, yang mengacu pada sistem dan kelembagaan sosial yang memiliki aturan-aturan dan ciri khasnya tersendiri, serta adanya asosiasi petani dalam menentukan penggunaan air irigasi untuk menanam padi yang dilakukan secara demokratis dan hierarkis sesuai dengan pembagian peran bagi masing-masing petani. Sistem Subak yang dinilai sebagai prinsip pengelolaan irigasi unggul dan maju ini bahkan telah diakui oleh pakar pertanian internasional. Irigasi Subak (palemahan) memiliki fasilitas pokok yang berupa bendungan air (pengalapan), parit (jelinjing), serta sarana untuk memasukan air ke dalam bidang sawah garapan (cakangan).


UNESCO/Ko Hon Chiu Vincent
Meskipun pada dasarnya merupakan sistem irigasi, Subak juga dihayati oleh masyarakat Bali sebagai konsep kehidupan, karena merupakan manifestasi langsung dari filosofi yang disebut sebagai Tri Hita Karana. Dengan Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan dan/atau kesejahteraan, serta Karana yang berarti penyebab, maka arti dari Tri Hita Karana dapat disimpulkan sebagai tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan. Adapun ketiga hal ini diaplikasikan di dalam sistem Subak sebagai Parahyangan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan); Pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama); dan Palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungan).

Ketentuan dasar berupa Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan ini tertuang dalam sebuah hukum/peraturan tradisional tertulis pada umumya sistem Subak di Bali, yang dikenal dengan nama Awig-awig. Awig-awig berisi tata cara pengelolaan Subak serta proteksi dan konservasi tradisional terhadap properti budaya dan alam di area Subak. Selain itu, Awig-awig juga mengatur tentang hak dan kewajiban dari krama (anggota) Subak.

Sesuai dengan aspek Pawongan, Subak dikelola dengan sistem swadaya masyarakat (gotong royong) berupa organisasi terstruktur. Organisasi ini dilengkapi dengan tingkat dan pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggota/krama-nya. Disadur dari laman baliglory.com, anggota/krama Subak diklasifikasi menjadi tiga, yaitu Krama Aktif, Krama Pasif, dan Krama Luput. Krama Aktif terdiri dari Kepala Subak (Pekaseh/Kelian), Wakil Kepala/Kepala Deputi Subak (Pangliman/Petajuh), Sekretaris (Penyarikan), Bendahara (Petengen), Juru Arah (Kasinoman), dan Penanggung Jawab Ritual Keagamaan (Pemangku). Krama Pasif merupakan anggota Subak yang tidak mengikuti aktivitas keseharian Subak, namun rutin membayar retribusi. Sedangkan Krama Luput merupakan anggota Subak yang tidak dapat mengikuti aktivitas keseharian Subak akibat memiliki tanggung jawab lain, seperti bertugas sebagai Kepala Desa.

Kemudian dari aspek Parahyangan, setiap Subak memiliki satu atau beberapa tempat suci (pura) yang dibangun dan dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Pura ini kemudian digunakan untuk mengadakan ritual upacara keagamaan terkait aktivitas pertanian, baik yang berlaku secara perseorangan maupun berkelompok.

Lalu dalam aspek Palemahan, sistem Subak mendorong terjadinya penggunaan lahan yang efisien untuk pertanian, dengan mengutamakan aspek kelestarian lingkungan. Masyarakat secara berkala melakukan pemeliharan bangunan dan saluran irigasi dengan bergotong-royong. Selain itu, juga diadakan aktivitas bersama yang berhubungan dengan konservasi lingkungan.


OUR PLACE The World Heritage Collection/Geoff Steven
Sistem Subak sebagai bentuk manifestasi langsung dari filosofi Tri Hita Karana ini terangkum di dalam dokumen bertajuk Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy. Dokumen inilah yang mengantar ditetapkannya sistem Subak di Bali sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) UNESCO per tanggal 6 Juli 2012. Subak dinilai memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value) yang memenuhi tiga kriteria dari Pedoman Operasi untuk Implementasi Konvensi Warisan Dunia UNESCO, yaitu memiliki keunikan atau sekurang-kurangnya pengakuan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih berlaku maupun yang telah hilang/punah; merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia dan tata-guna lahan; serta adanya asosiasi dengan tradisi budaya, ide, atau kepercayaan.

Sebagai World Cultural Heritage, sistem Subak didefinisikan bukan hanya sekadar sebagai situs alam dalam bentuk materi, melainkan pula dalam bentuk filosofi yang perlu dilindungi. Program World Cultural Heritage sendiri merupakan program UNESCO yang difokuskan untuk mendorong proses identifikasi, proteksi dan preservasi dari warisan budaya dunia. Hal ini selaras dengan perjanjian internasional, Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia yang telah diadopsi UNESCO sejak tahun 1972.(SC/GDA)

Share this Post:

Related Posts: